/ Mengurai Macet Jakarta: Perspektif Bram Hertasning tentang Pentingnya Otoritas Transportasi Jakarta Raya
Oleh Bram Hertasning
Jakarta: Sebagai Kepala Bidang Kebijakan Transportasi Perkotaan di Kementerian Perhubungan, saya, Bram Hertasning, melihat bahwa persoalan transportasi di Jabodetabek bukan hanya soal kemacetan, tetapi juga soal tata kelola kelembagaan yang belum sepenuhnya terintegrasi. Pada 2024, sektor transportasi nasional menyumbang sekitar 202 juta ton CO₂—sekitar 27% dari total emisi energi. Sebagian besar berasal dari pertumbuhan kendaraan pribadi, terutama di kawasan metropolitan terbesar Indonesia ini.
Secara ekonomi, beban kemacetan juga sangat besar. Bank Dunia memperkirakan kerugian akibat macet mencapai US$5,6 miliar atau sekitar Rp56 triliun setiap tahun, bahkan untuk Jabodetabek nilainya bisa mencapai Rp65–100 triliun. Pertumbuhan kendaraan pun terus meningkat; data World Bank 2017 mencatat 488 kendaraan bermotor per 1.000 penduduk Jabodetabek, dengan 430 di antaranya merupakan sepeda motor.
Penggunaan angkutan umum pun masih rendah—sekitar 10%—jauh di bawah standar kota besar dunia. Meski DKI Jakarta menargetkan pangsa 60% pada 2030, tantangan tetap berat. Pada 2020, Jakarta masih menempati peringkat ke-31 kota termacet di dunia dengan tingkat keparahan 36%.
Salah satu persoalan mendasar yang saya amati selama menyusun berbagai kebijakan adalah tumpang tindih kewenangan antar-instansi. Pengelolaan transportasi Jabodetabek melibatkan banyak pihak: Kemenhub, Kementerian PUPR, Pemprov DKI, Pemprov Jabar dan Banten, serta operator seperti KAI, MRT, LRT, dan sejumlah operator swasta.
Tanpa otoritas tunggal, integrasi tarif, jadwal, hingga infrastruktur berjalan sendiri-sendiri. YLKI pun menilai absennya lembaga lintas-wilayah menjadi salah satu hambatan terbesar dalam mewujudkan integrasi transportasi Jabodetabek.
Karena itu, saya berpendapat bahwa diperlukan sebuah lembaga khusus dengan mandat penuh untuk mengatur transportasi Jakarta dan kawasan penyangganya—gagasan yang telah lama dibahas melalui ide Otoritas Jabodetabek atau Dewan Aglomerasi.
Model lembaga ini dapat meniru Transport for London (TfL), yang mengelola seluruh moda secara terpadu dengan satu standar kebijakan, termasuk sistem tarif bersama seperti Oyster card. Pendekatan seperti ini terbukti efektif meningkatkan pangsa angkutan umum hingga 44%, dan menaikkan perjalanan bus hingga 60% pada dekade 2000-an.
Otoritas Transportasi Jakarta Raya yang berada langsung di bawah Gubernur DKI idealnya memiliki fungsi:
- Menyusun perencanaan multimoda terpadu (bus, MRT, LRT, KRL, BRT) lintas provinsi melalui RITJ.
- Menyatukan sistem tarif dan pembayaran seluruh moda, termasuk penguatan program Jak Lingko.
- Mengelola subsidi dan pendanaan secara efisien melalui skema kontrak layanan dan pendanaan jangka panjang.
- Mendorong investasi TOD serta mempercepat perizinan pengembangan kawasan berbasis transit.
Dengan kewenangan tunggal, integrasi dapat berjalan lebih cepat, dan Jak Lingko sebagai embrio integrasi tarif dapat diperkuat melalui kebijakan payung yang lebih tegas.
Lembaga ini bisa berbentuk BLUD atau BUMD, dipimpin pejabat setara eselon I dengan kemampuan koordinasi lintas kementerian dan provinsi. Pendanaannya dapat bersumber dari APBD, APBN tertentu, serta kerja sama swasta, terutama dalam skema pendanaan jangka panjang dan pengembangan kawasan TOD.
Semua pihak—BUMD seperti MRTJ, LRTJ, Jak Lingko; BUMN seperti KAI; operator bus; hingga unsur keamanan—perlu berada dalam satu kerangka strategis yang terkoordinasi.
Kerumitan transportasi Jabodetabek tidak bisa lagi diselesaikan oleh kebijakan sektoral yang terpisah. Jika tidak ada perubahan signifikan, kerugian Rp65–100 triliun per tahun dan potensi biaya kesehatan akibat polusi yang bisa mencapai US$43 miliar pada 2030 akan semakin membebani negara.
Sebagai penyusun kebijakan transportasi perkotaan, saya, Bram Hertasning, melihat pembentukan Otoritas Transportasi Jakarta Raya sebagai langkah strategis dan mendesak untuk mencapai efisiensi, keberlanjutan, dan kualitas layanan publik yang lebih baik.
Rekomendasi utama:
- Membentuk tim lintas lembaga untuk merancang desain kelembagaan otoritas transportasi.
- Melakukan konsolidasi politik dengan pemerintah pusat dan tiga provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
- Menyusun Perda yang mengatur fungsi, kewenangan, dan anggaran Otoritas Transportasi Jakarta Raya, termasuk integrasinya dengan TOD dan Jak Lingko.
- Mengajak BUMD dan pihak swasta sebagai mitra strategis, dengan insentif bagi moda transportasi rendah emisi.
- Melakukan evaluasi reguler berbasis indikator seperti waktu tempuh, pangsa angkutan umum, dan penurunan emisi.
Dengan otoritas terpadu, Jabodetabek memiliki peluang besar untuk keluar dari jebakan kemacetan sekaligus menuju standar sistem transportasi kota global.
Dr. Ir. Bram Hertasning, ST, MTM, MLogMan, IPM, CRP, ASEAN Eng adalah Kepala Bidang Kebijakan Transportasi Perkotaan Badan Kebijakan Transportasi, Kementerian Perhubungan RI